FaizA’laSyauqy_201610050311007_KomunikasiPemerintahan&Politik
Menelaah Langkah Pencegahaan Pemerintah Indonesia
Terhadap Pandemic Wabah COVID-19
Mapping
Pada 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo ‘Jokowi’ diketahui
secara resmi mengumumkan kasus pertama positif terinfeksinya virus corona, atau
yang terkena penyakit COVID-19, di Indonesia, yang saat itu belakangan
diketahui bahwa dua orang perempuan berusia 31 tahun dan ibunya berusia 64 tahun
mengetahui status mereka yang terinfeksi dari berita, yang juga kemudian
Presiden mengumumkan hal tersebut kepada publik sebelum petugas kesehatan
memberitahukannya kepada mereka secara langsung. Insiden ini hanya salah satu
kesalahan dari banyak langkah besar yang diambil pemerintah sebelumnya yang
menimbulkan pertanyaan serius mengenai kemampuan menanggapi pandemik global
ini. Meskipun fokus utama memang wajib ditujukan untuk merawat mereka yang
sudah terinfeksi dan mencegah penyebaran lebih lanjut, penyelidikan yang
komprehensif juga harus segera dilakukan di saat yang tepat untuk memeriksa
kesalahan serius yang telah dibuat sehingga membahayakan kehidupan masyarakat.
Indonesia seharusnya lebih siap di masa depan dalam menyikapi hal ini.
Sejak berita mulai muncul pada akhir Desember 2019
tentang virus baru yang mengkhawatirkan menyebar melalui provinsi Wuhan di Cina
tersebut, beberapa tindakan dunia mulai dikerahkan mulai dari para ahli
kesehatan yang telah meningkatkan kesiagaan, dan pada 30 Januari 2020,
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi menetapkan tahap ‘darurat
kesehatan global’ setelah 213 kasus meninggal dan 9.692 kasus dari seluruh 31
provinsi Cina dilaporkan.
Setelahnya, negara lain seperti India, Filipina, dan
juga beberapa negara di Eropa, Australia, Jepang, Singapura, Vietnam, dan
Amerika Serikat melaporkan kasus yang menunjukan kekhawatiranya persoalan positif
COVID-19. Sementara itu, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Terawan Agus
Putranto berusaha untuk mengecilkan keadaan darurat kesehatan global dengan
mengatakan kepada masyarakat, “Jangan panik, jangan resah,Enjoy saja. Makan
yang cukup, gaya hidup sehat. Kalau flu, batuk, ya pakai masker. Niat Menteri
Kesehatan mungkin untuk menenangkan public yang sebetulnya tentu dibutuhkan, akan
tetapi tentunya pesan untuk bertindak “enjoy aja” terlihat meremehkan dan menganggap
enteng masalah yang sangat serius dan mematikan yang bahkan langsung
diintruksikan darurat dari WHO tersebut.
Beberapa minggu kemudian, ketika Indonesia secara
mengejutkan masih menjadi salah satu dari sedikit negara besar di Asia yang
tidak memiliki kasus positif COVID-19 meskipun dengan adanya penerbangan langsung
dari Wuhan yang tidak dihentikan hingga 23 Januari 2020 Menteri Terawan yang
dikenal religius kembali mengejutkan publik dengan mengklaim situasi tersebut
sebagai berkah dari yang Maha Kuasa. Ia juga mengatakan bahwa studi yang
dilakukan oleh beberapa peneliti dari Universitas Harvard, yang menyatakan
bahwa Indonesia mungkin memiliki kasus yang tak terdeteksi, sebagai sebuah
“penghinaan. Seolah melontarkan sikap tidak sopan.
Meskipun ada banyak pertanyaan terkait status
Indonesia yang katanya pada saat itu masih ‘bebas virus corona’, Pemerintah
awalnya berupaya untuk memanfaatkan situasi yang ada. Setelah rapat kabinet
pada 25 Februari 2020, Presiden Jokowi mengeluarkan empat instruksi untuk
mengantisipasi dampak COVID-19 terhadap perekonomian Indonesia, yang mana di
antaranya adalah dengan memaksimalkan kegiatan konferensi dalam negeri, MICE
(Meeting, Incentive, Convention and Exhibition), serta meningkatkan promosi
untuk menyasar pasar wisatawan mancanegara yang mencari alternatif destinasi
wisata akibat batal mengunjungi Cina, Korea, dan Jepang (yang pada saat itu
merupakan tiga negara paling terdampak oleh COVID-19).
Message
Pada saat yang sama, pemerintah menyiapkan 72 miliar
rupiah (5.2 juta dollar AS) untuk membayar orang-orang yang berpengaruh di
media sosial (influencers) untuk mempromosikan Indonesia sebagai tujuan wisata.
Pada saat negara-negara lain berusaha memperlambat penyebaran COVID-19 dengan
memberlakukan pembatasan perjalanan, Indonesia malah mendorong sebanyak mungkin
wisatawan agar datang berkunjung. Alih-alih menggunakan dana negara untuk memberi
informasi kepada masyarakat tentang tindakan pencegahan kesehatan dasar,
pemerintah malah berencana membelanjakannya untuk kampanye daring pariwisata.
Kemudian, ketika Arab Saudi memberlakukan pembatasan perjalanan termasuk
penangguhan semua jamaah umrah Negara asing demi terwujudnya kepentingan
kesehatan dan keselamatan publik, Indonesia awalnya mencari semacam
fleksibilitas dari Riyadh, mengingat statusnya sebagai negara ‘bebas virus corona
, sekalipun terdapat risiko para jamaah dapat terinfeksi dan membawanya ke
Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia masih mengadopsi
pola pikir economic developmentalist, dengan mengorbankan situasi darurat
kesehatan global.
Setelah melihat ketidaksiapan pemerintah Indonesia
yang malah bersikap santai sebelum kasus pertama COVID-19 dikonfirmasi,
pengumuman Presiden Jokowi pada 2 Maret diharapkan akan memusatkan pikiran para
pejabat pemerintah dalam menghadapi kenyataan pahit ini. Lebih lanjut
pemerintah juga diharapkan akan melakukan tindakan bersama dan menghadirkan
pendekatan yang lebih terkoordinasi, responsif, dan komprehensif. Sayangnya,
hingga saat ini tidak ada satu pun dari harapan tersebut yang terwujud.
Walaupun para ahli menyoroti pentingnya keterbukaan dan transparansi sebagai
salah satu ‘kunci utama dari respons efektif di beberapa negara’, Presiden
sebaliknya mengakui, “Kami tidak ingin menciptakan rasa panik, tidak ingin
menciptakan keresahan di tengah masyarakat. Oleh sebab itu dalam penanganan
memang kami tidak bersuara. Hal tersebut termasuk lokasi kasus positif COVID-19
di Indonesia, yang menyebabkan pemerintah daerah frustrasi dan kemudian membuat
pengumuman mereka sendiri. Seperti yang dikatakan oleh seorang komentator,
“Salah satu alasan mengapa pemerintah daerah mulai bertindak sendiri adalah
karena mereka kehilangan kepercayaan kepada kemampuan Jokowi untuk
mengendalikan wabah ini”. Perpecahan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi
jelas ketika Presiden secara terbuka mengingatkan bahwa kebijakan lockdown
tidak boleh diambil oleh pemerintah daerah, itu kebijakan pemerintah pusat. Hal
inilah yang menjasi cikal bakal pro kontra ditengah-tengah masyarakat hingga
saat ini.
Selain perang mulut dengan pemerintah daerah,
pemerintah Indonesia juga terlibat percekcokan dengan negara tetangga Singapura
setelah Achmad Yurianto, juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19,
menuduh Singapura menyembunyikan informasi. Yang memalukan bagi Jakarta,
Kementerian Kesehatan Singapura menunjukkan bahwa pihaknya telah ‘dengan cepat
membagikan informasi kepada Indonesia melalui saluran resmi IHR (International
Health Regulations/Regulasi Kesehatan Internasional) mengenai kasus positif
COVID-19 yang melibatkan orang Indonesia, untuk memfasilitasi pelacakan kontak
di Indonesia yang telah dikonfirmasi oleh juru bicara nasional IHR Indonesia di
Kementerian Kesehatan Indonesia. Kurangnya komunikasi antara pejabat Indonesia
pasti telah membuat Singapura bingung. Hal lain yang memalukan dari Indonesia,
setidaknya dua pasien melarikan diri dari rumah sakit (satu kasus positif dari
RSUP Persahabatan di Jakarta dan satu kasus suspect dari RS Mardi Rahayu di
Kudus) dimana mereka seharusnya diisolasi
Dalam sebuah studi kasus tentang kinerja menyedihkan
Indonesia, masyarakat baru diberitahu tentang kasus pelarian pertama seminggu
setelah insiden terjadi dan para pihak berwenang pun tidak tahu ke mana pasien
melarikan diri. Achmad Yurianto kemudian menyangkal bahwa pasien melarikan
diri, dengan mengklaim bahwa orang tersebut hanya kembali ke rumah selama
sehari dan kemudian masuk ke rumah sakit lain. Kasus ini sekaligus mengungkap
bahwa pasien tersebut meragukan hasil pemeriksaan terhadapnya dan enggan berada
di ruang isolasi bersama dengan pasien lain, karena merasa takut akan
terinfeksi jika ia tinggal di rumah sakit. Keadaan yang menyedihkan ini bisa
dibilang menunjukkan kurangnya kepercayaan publik kepada para pejabat
pemerintah.
Output
Hal-hal di atas menunjukkan banyaknya kesalahan
langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menangani pandemic global
COVID-19 ini. Kita bahkan belum membahas buruknya kemampuan pengujian dari
pemerintah yang diadakan sejak 19 maret 2020 lalu, bahkan hanya 1.592 tes yang
telah dilakukan di Negara yang diketahui berpenduduk 270 juta orang ini sedangkan
Korea Selatan telah melakukan lebih dari 220.000 tes meskipun populasinya jauh lebih
kecil yaitu 51 juta orang. 16 atau kurangnya alat pelindung bagi petugas medis yang
akhirnya sebagian menggunakan jas hujan. Sebagai negara berkembang dengan
sistem perawatan kesehatan yang terbatas, beberapa masalah memang sudah dapat
diperkirakan. Namun, kesalahan tidak perlu yang dilakukan oleh pemerintah
sendiri tidak dapat diterima. Meskipun fokus utama memang wajib ditujukan untuk
merawat mereka yang sudah terinfeksi dan mencegah penyebaran lebih lanjut,
penyelidikan yang komprehensif juga harus segera dilakukan di saat yang tepat
untuk memeriksa kesalahan serius yang telah dibuat dan membahayakan kehidupan
masyarakat. Investigasi tersebut harus melibatkan anggota parlemen, pakar
medis, akademisi, dan kelompok sipil dengan tujuan mengidentifikasi apa yang
salah, siapa yang melakukan kesalahan langkah, dan bagaimana memastikan agar hal
itu tidak terjadi lagi. Setidaknya mengurangi kesulitan yang dialami para pekerja
medis yang berdiri digarda terdepan demi mensterilkan keadaan yang saampai saat
ini belum usai perkaranya, serta menabah daya serta semangat bagi yang terkena
agar lebih bisa sabar serta tabah menghadapi musibah yang ada ini.
Saran
Harapanya pemerintah pusat dan pemerintah daerah
secara konkret bisa membantu masyarakat mencegah dan mengurangi penyebaran
virus, misalnya dengan membagi-bagikan masker, cairan pembersih tangan (hand
sanitizer), dan cairan disinfektan secara terjun langsung agar memang
kekhawatiran masyarakat berkurang, ditambah himbauan pemerintah itu sebetulnya
baik agar kita tetap berdiam dulu dirumah, akan tetapi pemerintah pun harus
faham atas tanggung jawabnya bahwasanya tidak semua rakyat kita itu memiliki
gaji tetap seperti pedagang asongan kemudian buruh perusahaan dll, tidak sama
seperti pns pejabat, polisi yang memiliki gaji tetap yang mana kerja gak kerja
dapat uang, dimana letak keadilan ? seharusnya pemerintah mampu juga
menyediakan/menjamin bahan pokok makanan kepada rakyat-rakyat kecil yang
pastinya pekerjaan mereka terenggut oleh wabah COVID 19 ini.